Hakikat ruh
Masalah dan hakikat ruh merupakan salah satu masalah yang senantiasa menjadi pembahasan dan perbincangan manusia dari zamam lampau hingga hari ini. Pertanyaan di atas juga bersumber dari permasalahan ini bahwa apakah hakikat manusia itu adalah badan materi dan jasad lahiriyah ini? Atau selain jasad lahiriah ini terdapat suatu realitas lain yang tidak memiliki sifat-sifat material dan berdimensi transendental. Apabila demikian, apakah realitas itu adalah materi atau ruhani (nonmateri), dan bagaimana nasibnya kelak pasca kematian?Untuk menjawab pertanyaan di atas kita dapat menjelaskannya dengan mengedepankan sebuah proposisi sehingga secara logis kita dapat sampai kepada sebuah konklusi:
Premis pertama: Ruh yang membentuk hakikat manusia bukan badan.
Premis kedua: Segala sesuatu selain badan, yaitu perkara ruhani tidak akan mengalami kematian dan juga tidur. Dengan kata lain, ia bersifat abadi.
Konklusi: Ruh tidak mengalami kematian dan tidak tidur.
Jawaban Detil
Penjelasan masalah ini secara detail memerlukan masing-masing dua premis ini yang dibahas dan ditelaah secara terpisah. Dalil-dalil kenon-materian jiwa (nafs) dan ruh:
Premis-premis argumentasi
Manusia memiliki dua jenis penginderaan dan pencerapan:
1. Penginderaan yang membutuhkan media-media empirik seperti volume dan warna benda;
2. Pencerapan dan penginderaan yang tidak memerlukan media-media empirik seperti pelbagai kondisi internal dan psikologis seperti takut, marah, dan persepsi “aku” itu sendiri.
Karena dalam pencerapan-pencerapan empirik acapkali terjadi kesalahan, maka terkadang manusia dalam pencerapan jenis pertama mengalami kesalahan. Namun pada pencerapan bagian kedua manusia tidak mengalami kesalahan. Karena dalam ilmu hudhuri tidak terdapat kesalahan. Adapun dalam ilmu hushuli kesalahan boleh saja terjadi, oleh karena itu manusia di samping badannya juga memiliki sisi dan dimensi yang lain. Namun apakah “aku” ini adalah non-materi atau jasad materi ini? Terdapat beberapa dalil yang menegaskan bahwa “aku” bukanlah badan jasmani atau materi:[1]
1. Pencerapan “aku” dengan ilmu hudhuri, hal ini berbeda dengan pemahaman terhadap badan lahiriah ini. Artinya jiwa (nafs) dalam mencerap dan memahami diri (aku)nya tidak memerlukan media dan wahana, karena ia mengetahuinya dengan ilmu hudhuri;
2. “Aku” senantiasa tetap dan konstan dalam kehidupan di dunia ini, hal ini berbeda dengan jasad yang terus berubah-ubah.
3. “Aku” bersifat “basith” (tunggal) dan tidak dapat diurai, berbeda dengan jasad (benda) yang memiliki rangkapan dan dapat dibagi. Namun jiwa (nafs) tidak dapat dibagi-bagi, bahkan jiwa yang senantiasa menyertai badan pun tidak dapat dibagi-bagi.
4. Pelbagai kondisi mental seperti perasaan dan kehendak tidak dapat dibagi dan mengalami perluasan – yang merupakan tipologi materi – maka “wadah” perasaan dan kehendak tersebut adalah non-materi.
5. Segala sesuatu dari terhadap jenisnya sendiri menguat dan terhadap lawannya melemah. Sementara ruh akan melemah berhadapan dengan pencerapan jasmani, dan dengan menghindar dari pencerapan jasmani ini dan berpijak pada aspek-aspek spiritualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, jelas bahwa jiwa (nafs) bukanlah badan dan bersifat nonmateri.[2]
6. Seluruh ilmuan kedokteran dan empirik sepakat bahwa seiring dengan bertambahnya usia, panjangnya umur, anggota dan kekuatan jasmani semakin melemah dan mengalami degradasi energi. Sementara kekuatan ruhani pada saat yang sama semakin menguat (berkebalikan antara satu dengan yang lain, yaitu semakin kekuatan jasmani melemah, maka kekuatan ruhani semakin menguat). Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa fakultas-fakultas akal bukanlah jasmani atau yang bersifat kematerian. Dan ketika mengalami penuaan fakultas-fakultas akal ini tidak akan melemah, walaupun sebagian fakultas yang terkait langsung dengan jasmani atau fakultas yang memerlukan badan dalam aktivitasnya semakin melemah, namun pencerapan-pencerapan rasional murni yang tidak ada hubungannya dengan badan dan sifat-sifat (malâkah-malâkah nafsani) kejiwaan akan semakin menguat.[3]
7. Tipologi jiwa dan karakteristik nafs berbeda dengan tipologi dan karakteristik benda sebagaimana yang terurai di bawah ini:
a. Benda hanya menerima bentuk-bentuk yang terbatas, sementara jiwa (nafs) dapat menerima bentuk dan corak secara tidak terbatas (bahkan semakin banyak jiwa [nafs] menerima bentuk maka ia semakin menguat).
b. Mengembalikan dan menghadirkan bentuk-bentuk yang telah sirna tanpa media pada benda merupakan suatu hal yang mustahil, sementara jiwa tanpa memerlukan media bendawi mampu mengembalikan dan menghadirkan kembali bentuk yang telah sirna. Karena kesempurnaan jiwa bersandar mutlak pada dirinya dan dzatnya sendiri, berbeda dengan benda dan materi (jism), dengan demikian kedudukan nafs lebih tinggi dari benda (badan).[4]
8. Nafs dan jiwa manusia mencerap segala yang universal. Misalnya, manusia mencerap kulli (universal) yang seragam pada setiap orang dan karena bersifat universal maka ia harus terlepas dari segala bentuk aksiden seperti bentuk dan kondisi (wadh’) sehingga ia dapat benar diterapkan (shidq) pada setiap individu dan orang. Jika memiliki bentuk dan dalam kondisi tertentu maka ia hanya benar diterapkan pada satu orang atau satu individu luar (mishdaq). Dan karena adanya bentuk universal ini maka menjadi jelas bahwa ia juga berwujud pada selain alam eksternal ini (kharij) (karena mewujudnya sesuatu di alam eksternal meniscayakan bentuk-bentuk tertentu dan hal ini tidak sejalan dengan hal-hal yang bersifat universal). Oleh karena itu, ia harus mewujud pada alam mental (dzihn) dan wadah bentuk universal ini harus bersifat abstrak (nonmateri) pada alam mental. Apabila wadahnya ini adalah benda, maka bentuk mengikut wadahnya akan bersifat bendawi dan memeiliki bentuk-bentuk khusus, dan oleh karena itu ia tidak akan bersifat universal. Dengan demikian, wadah ini tidak bercorak bendawi melainkan substansi abstrak yang disebut sebagai nafs. Oleh karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nafs adalah abstrak dan non-materi (incorporeal) serta tidak memerlukan wadah, sebagaimana benda yang senantiasa berada di alam luar dan memerlukan wadah.[5]
9. Apabila manusia dalam kondisi yang sama sekali seimbang dan atmosfer udara sangat lembut, manusia lupa terhadap badan dan segala sesuatu di sekelilingnya sementara apabila ia konsentrasikan perhatiannya, maka ia akan menemukan dirinya.[6]
10. Tafakkur dan berpikir pada hal-hal yang rasional menjadi sebab lemahnya badan dan semakin kuatnya fakultas akal. Dengan demikian nafs bukanlah materi dan bersifat non-materi. Karena sesuatu tidak dapat menjadi penyebab melemahnya suatu maujud tertentu (A) pada saat yang sama juga menjadi penyebab menguatnya maujud (A) itu sendiri. Oleh karena itu, fakultas akal dan pikiran ini tidak memiliki tipologi jasmani dan bendawi.[7]
Dalil-dalil naqli yang menandaskan kenonmaterian jiwa:
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan pada kenon-materian jiwa, mengingat keterbatasan ruang dan waktu, kita hanya akan menyinggung 3 dari ayat-ayat tersebut:
1. Pada surah al-Mukminun (23) ayat 12-14 disebutkan ihwal proses penciptaan manusia bahwa manusia diciptakan dari saripati (berasal) dari tanah dan kemudian dari air mani hingga sampai pada tingkatan bentuk manusia dan sempurna namun setelah itu Allah Swt berfirman, “Kemudian Kami jadikan (ansya’) dia makhluk yang (berbentuk) lain.” Yang tadinya redaksi yang digunakan adalah redaksi “kami ciptakan,” kemudian redaksi ansya’ (jadikan) yang menunjukkan bahwa manusia telah memiliki kesempurnaan yang berbeda dengan tingkatan sebelumnya dan memiliki kemuliaan yang tadinya tidak ia miliki. Oleh karena itu, substansi manusia secara esensial berbeda dengan tingkatan-tingkatan sebelumnya dan karena pada tingkatan sebelumnya adalah tingkatan benda maka pada tingkatan berikutnya ini harus berdimensi selain materi dan benda. Artinya proses berikutnya berada pada tingkatan nonmateri. Atas alasan ini manusia memiliki dimensi nonmateri dan lebih mulia dari itu. Pada kondisi penciptaan manusia yang demikian inilah Tuhan sendiri memuji Dirinya Sendiri. Dan apabila pujian ini lantaran sisi material dan badan manusia maka eksistensi-eksistensi material lainnya juga memiliki sifat-sifat bendawi (jism) dan materi,sementara dalam penciptaan maujud-maujud lain Allah Swt tidak berfirman demikian.
2. Pada surah al-Baqarah (2) ayat 31-33 disebutkan bahwa Adam diajarkan nama-nama (asma) sesuai dengan penjelasan para mufassir bahwa Dzat Wajib Ta’ala memiliki mazhâhir (manifestasi-manifestasi) dan setiap eksistensi adalah cermin atau tajalli satu nama misalnya para malaikat adalah cermin dari nama ‘Alîm (Maha Mengetahui), namun manusia merupakan cermin dari seluruh nama Tuhan karena manusia lebih utama dan lebih abstrak dari para malaikat. Maka ketika para malaikat merupakan cermin dari satu nama Tuhan adalah abstrak, manusia yang nota-bene merupakan cermin dari seluruh nama Tuhan haruslah juga abstrak. Apabila manusia hanya berdimensikan materi saja maka hal itu akan meniscayakan bahwa materi yang lebih rendah dari nonmateri menjadi cermin seluruh nama Tuhan, sementara para malaikat yang nonmateri itu hanya merupakan cermin dari satu nama Tuhan. Tentu hal ini meniscayakan kontradiksi (tanâqudh) karena hal ini memestikan manusia yang lebih rendah dari para malaikat pada saat yang sama juga lebih tinggi.
3. Allah Swt pada surah al-Baqarah (20) ayat 154 dan Ali Imran (3)ayat 169 berfirman bahwa orang-orang yang syahid di jalan Allah tidak mati, melainkan (sebenarnya) mereka itu hidup dan mendapat rezeki di sisi Tuhannya dan hal ini hanya dapat sesuai dengan kenonmateriannya jiwa. Lantaran dengan syahadah badan akan sirna dan dari sisi materi tidak terdapat perbedaan antara syahadah atau mati. Dan hal ini tidak terkhusus kepada orang-orang syahid. Lantaran orang-orang shaleh dan para nabi juga yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari orang-orang syahid biasa. Di samping itu, apabila karena kesyahidan itu mengakibatkan sesuatu itu menjadi substansi yang nonmateri, maka hal ini akan menyebabkan suatu perubahan mendasar pada esensi sesuatu. Dan jelas bahwa perubahan prinsipil pada esensi sesuatu ini merupakan hal yang mustahil karena sesuatu yang materi dan tidak memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang nonmateri, lalu bagaimana ia menjadi substansi nonmateri dengan kesyahidannya? Dari sisi lain, apabila ruh orang-orang syahid itu adalah materi dan mendapatkan nikmat di haribaan Ilahi maka hal ini akan meniscayakan bahwa Allah Swt juga adalah susbtansi materi, karena materi memerlukan wadah dan wadahnya juga harus bercorak material. Dan juga mimpi-mimpi yang benar (shadiq) tentang orang-orang mati dan penyampaian berita-berita valid atau menghadirkan ruh atau keramat para wali, menegaskan pendapat tentang kenonmateriannya ruh (nafs).[8]
Keabadian nafs setelah kematian badan
Secara ringkas beberapa dalil rasional ihwal keabadian jiwa akan disinggung di sini:
1. Apabila sebuah eksistensi melakukan perjalanan menaik dan keluar dari domain tabiat (natural) maka eksistensi ini tidak akan mengalami ketiadaan dan kesirnaan. Materi melintas hingga puncak tingkat kemungkinan menanjak dan setelah itu jiwa (nafs) meninggalkan badan dan menjelma menjadi maujud (eksistensi) yang nonmaterial dan tidak memerlukan materi serta menjadi asing terhadap tabiat. Oleh karena itu, ia tidak mengalami ketiadaan. Karena ketiadaan dan kesirnaan merupakan tipologi materi dan benda. Karena pada materi terdapat potensi dan sepanjang potensi ini ada, materi akan tetap ada. Akan tetapi, setelah selesainya segala potensi dan ketika semua potensi itu menjadi actual, maka materi ini menuju kepada ketiadaan dan kesirnaan. Namun nafs setelah berpisah dari materi, ia tidak memiliki tipologi ini. Oleh itu, ia tidak akan sirna dan lestari selamanya. Satu-satunya kemungkinan ketiadaan yang dapat dialami oleh nafs adalah sirnanya penyebab-penyebab eksistensi jiwa (misalnya tiadanya Tuhan sebagai pencipta jiwa) dan hal ini tidak mungkin adanya.
Penjelasan: Pencipta nafs, Wajib al-Wujud (Tuhan), atau suatu eksistensi yang mewujudkan jiwa, pada bentuk pertama karena nafs bergantung kepada Penciptanya, bersifat tunggal dan tidak memiliki rangkapan serta potensi pada dirinya, oleh itu seluruh dzatnya bergantung kepada Wajib dan sama sekali tidak memiliki potensi dan rangkapan pada dirinya. Oleh itu seluruh dzatnya tergantung kepada Pencipta atau dzatnya adalah kebergantungan dan hubungan itu sendiri. Dan karena Sang Pencipta atau Tuhan -sebagai sumber keberadaan jiwa- adalah mustahil tiada, maka jiwa sebagai hasil ciptaan-Nya atau akibat wujud-Nya mustahil pun menjadi tiada, karena secara filosofis telah ditegaskan tentang kemustahilan keterpisahan akibat dari sebabnya. Artinya mustahil ada sebab namun tidak ada akibat. (istihala ‘adam al-ma’lul ‘inda wujud al-‘illah). Demikian juga kebalikan dari kaidah ini. Mustahil ada akibat tanpa adanya sebab. Dan apabila terdapat sebab selain Tuhan, maka pasti harus berujung dan bersandar kepada Realitas Lain, lantaran “segala sesuatu yang aksidental harus berujung pada sesuatu yang substansial (kullu ma bil aradh yantahi ilaa maa bil dzat). Dan diasumsikan bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah akibat (makhluk). Oleh karena itu, harus bermuara pada Wajibul Wujud (Tuhan). Dan apabila tidak demikian maka hal ini meniscayakan tasalsul (suatu rangkaian keberadaaan makhluk yang tak terputus) yang telah terbukti mustahil. Dan karena berujung dan berpijak kepada Wajibul Wujud (Tuhan) maka sesuai dengan penjelasan di atas bahwa adalah suatu hal yang mustahil Dzat Wajubul Wujud menjadi tiada.
2. Nafs dan jiwa selama bergantung dan mengatur badan maka pastilah memiliki gerak, dengan demikian senantiasa mengalami perubahan dan pergantian – apakah melintasi gerakan menaik atau menurun – namun setelah terlepas dari badan maka tiada lagi gerak padanya. Dan karena tidak memiliki gerakan, maka akan menjadi wujud yang tetap dan abadi.
Kendati seluruh nafs dan jiwa tidak sampai pada tingkat kenonmateriaan yang paling sempurna (tingkat tertinggi alam akal) dan hanya berada pada derajat tingkat kenonmateriaan kurang sempurna (pada alam mitsal). Namun tidak ada lagi sanggahan berkaitan dengan keabadian jiwa, karena terkait dengan masalah keabadian nafs tingkat kenonmateriaan mitsali juga telah memadai dan bahkan sebagian ulama meyakini tentang keabadian nafs hewani yang hanya memiliki fakultas hayalan dan imajinasi (non akal).
3. Argumen hikmah: Penciptaan semesta tidak sia-sia namun berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan. Lantaran sifat Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana -yang walaupun Sang Pencipta Alam Semesta tidak membutuhkan segala sesuatu dan Maha Kaya- oleh karena itu dalam perbuatan-perbuatan-Nya Dia tidak mengambil manfaat dari – baik secara langsung atau tidak. Namun hal ini tetap sejalan dengan tujuan Sang Pencipta yaitu mengantarkan makhluk kepada kesempurnaan. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Kami menciptakan manusia untuk ibadah dan mencapai kesempurnaan melalui jalan penghambaan. Oleh karena itu, alam semesta yang merupakan ciptaan Sang Maha Bijaksana mustahil tanpa tujuan. Dan dengan tercapainya tujuan dan maksud tersebut maka manusia mencapai kesempurnaan dan tercapainya tujuan ini merupakan suatu hal yang niscaya. Allah Swt menyatakan bahwa tiada keraguan tentang datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan, karena Dia adalah Pencipta seluruh keberadaan dan berkuasa atas mereka. Dengan demikian, tiada halangan bagi alam semesta untuk tidak sampai pada kesempurnaannya. Dan sampainya kepada kesempurnaan tanpa adanya pendahuluan-pendahuluan dan media tertentu mustahil adanya. Pencipta Yang Maha Bijaksana, membekali seluruh eksistensi dengan media-media dan kesempurnaan dapat dicapai dengan terealisirnya tujuan puncak. Oleh karena itu, nafs harus abadi dan tidak sirna karena pertama, kesirnaan dan ketiadaan tidak selaras dengan kesempurnaan. Kedua, sesuatu yang telah mencapai kesempurnaannya kemudian menjadi tiada (ma’dum) merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan berseberangan dengan kebijaksanaan Pencipta Sang Maha Bijaksana.
4. Argumen keadilan: Dengan memperhatikan bahwa seluruh orang pada setiap komunitas tidak mentaati perintah-perintah Ilahi dan para nabi Ilahi senantiasa memiliki musuh dan penentang serta pada komunitas terdapat dua kelompok masyarakat yang berbeda, yakni orang-orang shaleh dan orang-orang buruk yang berlaku aniaya. Orang-orang shaleh tidak berpikir kecuali Tuhan dan perbuatan baik serta melayani masyarakat menjadi perkerjaannya. Dan sebagai kebalikannya, orang-orang yang gemar berlaku aniaya dan buruk yang senantiasa sibuk dengan perbuatan zalim, merusak dan menyesatkan orang-orang. Namun dengan demikian, bukan orang zalim tidak mendapatkan balasan atas perbuatannya juga bukan orang-orang shaleh memperoleh ganjaran atas perbuatan baiknya. Apabila orang zalim dihajar di dunia ini tidak berdasarkan perbuatannya dan bahkan pada kebanyakan masalah ganjaran perbuatan-perbuatan baik tidak dapat menebus amal shaleh yang dilakukan. Demikianlah tipologi dunia. Oleh itu, harus terdapat dunia lain setelah dunia ini dan ruh yang merupakan hakikat manusia pasca perpisahan dengan badan akan berkediaman di sana guna melihat hasil perbuatannya. Dengan demikian, apabila ruh sebagaimana badan kehilangan kehidupannya maka seluruh perbuatan para hamba tidak akan menuai ganjaran dan pahala. Dan hal ini suatu hal yang tercela dan mustahil bagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana. Karena keadilan artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya (I’thai kullu dzi haqqin haqqah). Dan makna ini tidak akan terealisir kecuali dengan abadinya ruh.
Dalil-dalil naqli (ayat al-Quran dan hadis) atas kebadian ruh dan jiwa:
1. Dalam surah al-Zumar (39) ayat 42[9] disebutkan bahwa Allah Swt menahan ruh orang-orang mati pada alam tertentu dan bukti dari hal itu adalah redaksi tawaffa (mengambil) yang bermakna mengambil dengan demikian menjadi jelas bahwa setelah alam ini ruh tidak akan binasa.
2. Pada ayat berikut ini dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang telah gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 154) juga pada ayat “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki” (Qs. Ali Imran [3]:169)
3. Pada surah al-Mukminun ayat 45-46 ditegaskan tentang azab yang diturunkan pagi dan petang azab kepada para Fir’aun dan pada hari Kiamat juga memperoleh azab yang paling pedih dimana keniscayaan firman ini adalah keabadian nafs karena eksistensi yang tiada dan sirna tidak akan pernah mencicipi azab dan berbeda dengan inoraganik lainnya. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah sesuatu yang selain jasmani ini.
Di sini kita akan menukil sebagian pendapat para filosof terkait dengan masalah keabadian ruh, jiwa, dan nafs:
1. Ibn Sina berkata tentang keabadian nafs, lantaran nafs tidak mengikut dan tidak bergantung kepada jasad (jism) dan hanya merupakan media untuk sampai kepada kesempurnaan yang layak, maka keterpisahan nafs dari jasad dengan perantaraan kematian, maka nafs sama sekali tidak menderita kerugian dengan keterpisahan ini. Karena secara esensial nafs tidak membutuhkan materi dan jasad. Karena para filosof sepakat bahwa nafs secara esensial adalah nonmateri, namun dalam perbuatan dan aktivitasnya niscaya memerlukan materi (maddah). Oleh karena itu, dengan sirnanya materi dan benda (jism), nafs tidak akan sirna. Ibnu Sina pada kesempatan yang lain berkata, lantaran nafs berhubungan dengan akal aktif (aql fa’al) dengan kehilangan benda (jism) yang merupakan media baginya maka kehilangan ini tidak menimbulkan kerugian pada nafs. Karena nafs secara esensial memahami dirinya sendiri bukan dengan media dan perantara. Pertama kenonmaterian nafs tertetapkan. Kedua sesuai dengan kaidah filsafat bahwa setiap nonmateri secara esensial dapat mengetahui zatnya sendiri dan memahami dirinya sendiri dengan ilmu hudhuri. Dan dalam masalah ini, bukan hanya nafs melainkan seluruh maujud yang nonmateri juga berlaku hal yang sama.
2. Pendapat Mulla Shadra, pendiri filsafat Hikmah Muta’aliyah, sebagai berikut, nafs setelah meraup kesempurnaan ia sampai pada tingkatan dimana ia tidak memerlukan badan dan oleh karena itu ia berpisah dari badan dan kembali kepada Sumbernya dimana di tempat itu nafs sangat berbahagia dimana badan dan jasad tidak mungkin mencapai tingkatan yang mulia dan tinggi itu. Mulla Shadra juga berkata, semakin tinggi ketergantungan nafs kepada badan maka semakin kecil ia memahami dirinya sendiri. Dan apabila jarak ini semakin membentang, maka semakin ia dapat memahami dan mencerap dirinya sendiri, dan dengan kematian pencerapan ini semakin menyempurna.
Kiranya poin ini harus mendapat penjelasan bahwa dengan dalil-dalil keabadian nafs ini asumsi tentang kematian nafs secara otomatis tertolak, dan hal ini juga dapat menjadi dalil untuk menolak asumsi bahwa nafs atau ruh itu tidur. Karena tidur itu berada setingkat di bawah kematian dan perbedaan keduanya bahwa dengan kematian hubungan nafs dengan badan terputus sama sekali. Dan ruh setelah sampai kepada kesempurnaannya ia melepaskan badannya. Namun dengan tidur hubungan antara badan dan nafs tidak terputus sama sekali melainkan melemah. Dan kira-kira dapat dikatakan selama tidur, ruh tidak menguasai badan kecuali sangat lemah. Terdapat sebuah hadis yang menegasakan ucapan ini, “al-naum akhu al-maut.” (tidur merupakan saudara kematian).[10]
Tapi untuk menegaskan bahwa ruh tidak tidur dapat dijelaskan dengan dalil yang lain:
Dari satu sisi karena pada pembahasan awal telah ditetapkan tentang kenonmaterian ruh dan bahwa ruh itu berbeda dengan badan dan materi. Dari sisi lain, karena tidur untuk memperbaharui kekuatan dan memperoleh energi baru serta menghilangkan lelah dan hal-hal sedemikian merupakan tipologi dan efek materi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ruh dan nafs manusia tidak mengalami tidur melainkan sesuai dengan ucapan sebagian periset bahwa tidurnya badan adalah untuk memperbaharui kekuatan akibat lelah yang bersumber dari penguasaan nafs pada badan.[]
[1]. Ibnu Sina, Isyârât, khat-e sewwum (3) wa haftum (7), Iran. Allamah Hilli, Syarah Tajrid, maqsad-e duwwum, cetakan Beirut. Mulla Shadra, Asfar, jil. 9, fashl awwal, hal. 206, cetakan Beirut.
[2]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 58, bab 42, hal. 17, cetakan Beirut. Ma’âd az Didgâh-e Imam Khomeini Ra, hal. 38. Mulla Shadra, Op Cit, jil. 8, hal. 295, cetakan Teheran.
[3]. Allamah Hilli, Op Cit, fashl 4, masalah 5.
[4]. Mulla Shadra, Op Cit, jil. 8, hal. 302. Allamah Majlisi, Op Cit, hal. 18.
[5]. Allamah Thab-thabai, Nihâyat al-Hikmah, marhala 3, hal. 34.
[6]. Ibnu Sina, Op Cit, hal. 292
[7]. Mulla Shadra, Op Cit, jil. 8, hal. 302. Allamah Majlisi, Op Cit, jil. 58, hal. 18.
[8]. Allamah Majlisi, Op Cit, bab 42, hal. 6. Ma’âd az Didgâh-e Imâm Khomeini Ra, hal. 50
[9]. Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur; lalu Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir
[10]. Hasan Mustafawi, Misbah al-Syariat, terjemahan Mustafawi, teks, hal. 181, al-Bab al-Rabi’ wa al-Arba’un fii al-Naum.
No comments:
Post a Comment